Memaknai Sulung Pulang
; Sukiman
sudah sejak lama uban-ubanmu bergelut
pada batu sepi yang kauanut,
kelak ia sebagai pengantar keranda menuju ke ujung liang maut.
remuk lebur tulang-belulang ditikam kebengisan waktu,
tahun ke tahun berulang-ulang kali.
rumah kita sudah berbeda; tiada lagi batas berjarak,
tiada lagi dalam hitungan berbilang masa.
kita mengunyah kata demi kata dari sebuah cerita
perjalanan yang amat pendek.
sepahit bagaimanapun hidup, katamu,
harus direngkuh seutuh-utuh keberterimaan.
dan mengeluh, katamu lagi,
adalah cara seorang pecundang menampik
keberadaan tuhan yang mahasegala.
kini kau tenggelam dalam kantuk yang tak tertahankan,
dan biar aku yang akan menganut sepimu
dengan sepenuh tualang.
Samarinda, 2016
Bersama Puisi
suara hujan setengah mendesis,
mengiringi kematian kata-kata
arak-arakan mengantarkan kita
ke ujung paling makna sebuah kalimat
doa-doa dibacakan tanpa labuhan
seperti kidung-kidung sepi tak bertuan
di lubang baka sebagian berbincang
“apa kau masih yakin benar,
ingin bertahan hidup dengan puisi?”
Ciputat, 2016
Perdebatan di Kamar Mayat
tabuhan malam menimbulkan suara gemerisik daunan
di ruang ini, bersama sepi, kami justru saling kebingungan
: bisakah saudara jelaskan dengan detail dan runtut
perihal dua mayat yang datang pada kami kali ini sebagai tukang autopsi
mereka yang memiliki masalah serupa dan mati dengan cara yang sama
salah seorang mayat berkata,
bahwa mayat di sebelahnya yang menikam lebih dulu
mencabiknya, mengeluarkan usus-usus dan memotongnya
menjadi delapan bagian kecil-kecil
mayat lain pun membantah,
bahwa ia tak pernah menikam kawan baiknya itu,
lebih-lebih semasa hidupnya mereka taat beragama
melainkan suara samar yang dengan
tiba-tiba menghasutnya; tak berniat ia menusuk peparu
bisakah saudara si pengantar mendatangkan pengasutnya?
saya sudah pening mendengarkan perdebatan mereka yang
sama-sama tak ingin disalahkan, selewat jelang pagi ini
di luar tuduhan mereka berdua, kawan saya, sepi membisik
ia menuding, bahwa saudaralah sebenar-benar pelakunya
bisakah saudara datang ke ruangan saya sekali lagi?
Ciputat, 2016
Petaka Laksa Api
aku adalah laksa api yang dirudung petaka
manakala jawatan semilirmu berteluk pada angin
yang dilahirkan oleh gulma-gulma pagi
dan aku si laksa api yang malang
hanya memperhatikanmu dari kabar gulita
aku adalah laksa api yang tak sekalipun
pernah kauhirau, si pemilik mata embun
sehingga lambat laun aku mulai mengerti
tentang sebenar-benar arti kebermilikan
kukenang kau sekadar bentuk puisi
tanpa makna dan sunyi
2016
Imam Budiman, kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur. Puisi-puisinya dimuat di media lokal/nasional. Kini aktif di Komunitas Kajian Sastra Rusabesi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku puisi tunggalnya; Perjalanan Seribu Warna (2014) &Kampung Halaman (2016).